Hari itu seperti hari-hari sebelumnya. Tetap dengan rutinitasku mengayuh sepeda merahku menuju Pondok Pesantren. Iya, sejak 3 tahun yang lalu aku pindah ke sini. Tempat yang mengajarkanku banyak hal, tempat yang mampu membuka mataku secara perlahan, juga tempat yang membuat jantungku bergetar tak beraturan.
Dengan seragam warna tosca yang cantik kulangkahkan kakiku menuju kelas. Dan entah kenapa pandanganku tiba-tiba tertuju pada sosok pemuda tak berseragam pesantren yang duduk tepat di depan meja Ustadz. Dia tengah asik membaca Al-Qur'an. Sembari mengerutkan kening, aku berjalan di belakang dia, menuju tempat santri putri. Sekarang tempat dudukku dan dia tengah dibatasi kain berwarna putih.
Beberapa saat kemudian Ustadz memasuki kelas, setelah salam pembuka beliau mengenalkan kepada kami siapa sosok itu..
"Perkenalkan, dia Angga, santri putra baru di kelas ini. Bayu, ndapapa ya dia duduk di tempatmu, biar dia mampu mengikuti pelajaran kita sudah sampai mana."
"Iya, Ustadz. Ndapapa." Jawab Bayu.
"Ooohh jadi namanya Angga." Gumamku dalam hati.
Kelas dimulai, dan kalian tahu? Aku begitu tercengang dengan lantunan Al-Qur'an yang dia bacakan. Sungguh merdu dan fasih.
"Hiiiihhh, suami idaman banget deh itu kayaknya, mukanya kayak apa sih ya? Aku belum liyat." Ku dengar salah seorang temanku tengah mengungkapkan keterpukauannya. Iyasih ya, kayak apa ya mukanya. Hahahaha.
Kelas selesai tepat ketika suara adzan Isya' berkumandang. Setelah santri putra keluar kelas, berikutnya santri putri. Ku perhatikan teman-temanku begitu antusias. Jangan tanya kenapa, sudah jelas mereka penasaran sama santri baru itu.
"Aaaahhh tampannya, mukanya bersinar ya."
"Iya, iihhh pinter lagi."
"Eh, aduh dia senyum."
"Ah kamu sih, jangan keras-keras ngomongnya, dia denger kan jadi malu."
Entah magnet apa yang dia bawa, mendadak teman-temanku begitu gaduh. Tapi iyasih, dia memang tampan. Aku hanya menatap dia dari kejauhan, diam dan tersenyum.
***
Kelas memang berubah semenjak ada dia. Teman-teman seperti punya vitamin tambahan setiap kali mendengar suara Angga. Hari ini kelas hafalan, dimana setiap santri ada setor hafalan ke ustadz minimal 5 ayat setiap pertemuan. Ku dengar Angga banyak bertanya ke Bayu, siapa di kelas ini yang rutin setor ayat dan paling banyak hafalannya. Eh, si Bayu sebut nama Via dan namaku. Oh My God, Bayu --"
Tiba giliranku, maju ke depan dan setor hafalan. Tak seperti biasanya, hari ini aku gugup, kenapa? Karena ada mata Angga tepat di hadapanku. Dia begitu memperhatikan ayat demi ayat yang aku ucapkan. Setelah selesai, dia tersenyum dan bertepuk tangan. Sontak satu kelas keheranan.
"Ini si Angga ngapain sih ah pakek tepuk tangan" gumamku dalam hati, mukaku sudah memerah. Aku kembali ke tempat duduk dengan tertunduk.
"Mbak Zahra seneng ya di perhatiin mas Angga? Itu mas Angga sampai tepuk tangan sendiri." Goda Via.
"Iiihh Via apaan sih? Sudah sana maju sekarang giliranmu."
***
Hari demi hari aku semakin heran, kenapa kakak-kakak kelas jadi suka lewat depan kelasku. Usut punya usut ternyata mereka semua naksir Angga. Ini mah Cintaku Tumbuh di Pesantren namanya. Pesona Angga benar-benar mampu mengalahkan pesona mas-mas senior yang lain. Entahlah, seperti yang aku bilang tadi, dia punya magnet, iya magnet ajaib.
"Bulan depan kita ada lomba tahunan antar pesantren, untuk tartil Qur'an saya minta dari kelas ini yang mewakili pesantren kita, ya? Santri putrinya Zahra dan santri putranya Angga, mulai besok kalian cari Ustadz Ahmad dan cari kelas kosong, satu bulan ke depan belajar tartilnya dibimbing sama Ustadz Ahmad."
What?? Iya, itu pengumuman paling cetar melebihi sambaran geledek.
"Tapi maaf, Ustadz. Saya ndak pernah ikut tartil sebelumnya, saya juga ndak bisa."
"Zahra, kan sudah saya bilang nanti di bimbing sama Ustadz Ahmad, saya yakin kamu bisa. Belajar yang rajin ya." Sungguh aku benar-benar tak tahu harus mengelak dengan bagaimana lagi.
"Cieee mbak Zahra, abis ini bakalan berduaan terus di kelas sama mas Angga, atiati loh mbak.. hahahaha.." Ledek Via.
"Iiiihh berdua apa deh Via, bertigalah sama Ustadz Ahmad. Udah kamu ndak usah mikir macem-macem. Mbak bingung ini mbak kan ndak bisa, hoaaaaaa..."
"Bisa mbaakk, Via yakin mbak bisa. Semangat ayo semangat. Udah gausa gerogi, banyak santri putri yang pengen ada di posisi mbak loh."
"Jadi perwakilan tartil maksudmu?"
"Bukaann, berduaan sama mas Angganya maksud Via, hahahaha..."
"Huss ah kamu masi kecil doyan banget ledekin mbak.."
***
Baju koko warna tosca, sarung coklat dan kopyah hitam cukup membuat dia tampak begitu menawan hari ini. Aku tengah menunggu Ustadz Ahmad di depan kelas yang sudah kita sepakati, Angga menghampiriku, dan ini untuk pertama kalinya aku ngobrol sama dia.
"Assalamu'alaikum Zahra, sudah lama? Ustadz Ahmad masih di masjid ya?" Aaaahh sungguh kesantunannya memang 'awww'some, pantes aja mereka pada naksir Angga.
"Wa'alaikumsalam mas Angga, ndak kok Zahra masih baru kesini abis dari masjid tadi. Iya kayaknya, ini kelasnya masih di kunci."
"Ndak usah panggil mas deh, panggil nama aja, ntar kesannya aku tua lagi."
"Kan memang aku lebih muda dari mas Angga."
"Sudah panggil Angga aja." Ya Allah, dia senyum. Dan aku, hanya tertunduk.
Sejak hari itu setiap hari aku dan Angga memang selalu bertegur sapa, untuk sekedar membicarakan tentang tartil misalnya. Dia banyak mengoreksi bacaanku sembari menunggu Ustadz Ahmad, karena dia sudah lebih fasih dari aku sih ya, hahahaha.
Tak bisa aku pungkiri, Angga memang sosok yang 'suami-able' sampai kakak-kakak kelas ingin mengenal dia lebih dekat. Sekarang aku merasakan dekat dengan dia, merasakan kesopanannya dan merasakan kebaikan hatinya yang tidak dibuat-buat. Ya Allah, aku masih jauh dari kata pantas jika menginginkan dia.
***
Satu bulan berlalu, hari ini lomba dimulai. jantungku berdetak sungguh cepat. Lebih cepat dari biasanya. Tahun ini Pesantrenku jadi tuan rumah pelaksanaan lomba, aku seperti sedang menanggung beban berat di pundakku, perwakilan pesantren yang jadi tuan rumah, sudah pasti di targetkan untuk lebih baik dari peserta lain.
"Zahra, itu yang pakai baju koko warna putih dari pesantrenmu namanya siapa?" Tanya sepupuku yang juga mewakili pesantrennya.
"Oooh, itu namanya Angga mbak, dia ntar yang tartil putra."
"Oh ya? Serius? Ntar kalau aku sudah selesai mau liyat dia ah, ganteng ya." Lagi, magnet yang di bawa Angga tengah menyedot santri-santri dari pesantren lain.
Entah kenapa aku begitu gugup ketika aku harus di hadapkan dengan 3 juri di depanku serta banyaknya penonton yang memperhatikanku. Nafas tak sepanjang saat latihan, dan pemenggalan kata yang sudah diajarkan pun terasa buyar. Aku melihat Ustadz Ahmad dari kejauhan, dia terus memberiku semangat, dia masih berusaha meyakinkanku kalau aku mampu.
"Ustadz, maaf.. tadi Zahra ada satu pemenggalan yang salah." Aku mengungkapkan kekecewaanku, kekecewaan terhadap diriku sendiri yang tak mampu mengontrol rasa gugupku.
"Iya, Zahra, ndapapa, Ustadz maklum kok, kan kamu baru kali ini ikut lombanya. Lagian tadi sudah bagus kok, ini jempol deh buat kamu."
"Terimakasih Ustadz, sekali lagi Zahra minta maaf." Ucapku dengan di iringi mata berair penuh penyesalan.
"Assalamu'alaikum, Ustadz, tadi Angga bagaimana? Ustadz liyat Angga juga kan tadi?" Angga menghampiri kami dengan senyum penuh kepuasan.
"Wa'alaikumsalam... Iya, Uztadz tadi juga liyat Angga, bagus. Kamu seperti biasanya, bacaanmu memang selalu bagus."
"Assiiikkk, terimakasih Ustadz. Eh, Zahra kok murung?"
"Ndapapa Ngga, hehe.."
"Aku tadi liyat kok, udah ndapapa, kamu bagus, cuma mungkin tadi rada gerogi ya?"
"Iya, hehe.."
"Itu, Angga juga bilang bagus kok, sudah Zahra ndak usah murung lagi, ayok liyat lomba yang lain sembari menunggu pengumuman, Ustadz tinggal dulu ya, Assalamu'alaikum.."
"Wa'alaikumsalam.." sahutku dan Angga berbarengan.
Hari sudah sore, setelah sholat Ashar waktunya juri mengumumkan hasil lomba. Namaku tidak ada disebut di urutan 3 sampai 1, aku menengok ke arah Ustadz Ahmad, beliau masih saja mengacungkan jempolnya dengan tersenyum. Dan sebaliknya, nama Angga disebut di urutan kedua, aku liyat dia menaiki panggung dengan senyumnya yang khas. Dia melihat ke arahku, tapi aku tertunduk dan meninggalkan area lomba.
***
Beberapa bulan setelah hari itu, ada kenaikan kelas. Dimana kelas selanjutnya, santri putra dan santri putri akan ada dalam kelas tersendiri, sudah tidak lagi satu kelas. Aku tidak pernah lagi mendengar Angga membaca Al-Qur'an, aku sudah tidak pernah lagi banyak-banyakan setor ayat sama Angga. Dan entah kenapa rasanya seperti ada yang hilang. Walaupun kami masih suka berpapasan di Masjid setiap sholat berjamaah.
Karena jadwal sekolah dan jadwal mengaji yang bentrok, aku memutuskan untuk keluar dari pesantren. Sekolahku pulang jam 6 sore, sedangkan jam 5 aku harus ke pesantren. Dengan amat berat hati aku meninggalkan pesantren yang sudah mengajarkanku banyak hal, dan Angga, tidak tahu soal ini.
***
Delapan tahun berlalu, aku sudah tidak pernah bertemu dengan Angga lagi. Kemarin, ketika aku lewat depan rumah dia, aku melihatnya. Iya, sosok itu, sosok yang dulu selalu membawa magnet ajaib. Dia tengah menggendong seorang bayi lucu. Alhamdulillah, sekarang dia sudah menjadi seorang Abi, dan pastinya Abi yang baik untuk anak dan Istrinya. Terimakasih sudah mengajarkanku banyak hal, terimakasih sudah sempat menjadi motivasi untuk aku menjadi perempuan yang lebih baik, terimakasih telah memberiku pandangan, calon imam seperti apa yang harus di perjuangkan.
Allah mungkin mempertemukan kita dengan seseorang untuk satu alasan. Entah untuk belajar atau mengajarkan. Entah untuk sesaat atau selamanya. Entah akan menjadi bagian terpenting atau sekedarnya. Akan tetapi, tetaplah menjadi yang terbaik di waktu tersebut. Lakukan dengan tulus meski kadang tak menjadi seperti apa yang di inginkan. Karena tidak akan ada yang sia-sia jika Allah yang mempertemukan.
Memang kebanyakan orang mencari pasangan itu dilihat dari kegantengan atau kecantikannya, nasabnya, mungkin juga status sosialnya. Tapi, tidakkah kalian tahu? Dalam mencari pasangan, pertimbangan utama adalah ketaatan pada agamanya, karena tidak akan menyesal ketika seseorang mencari pasangan atas dasar ketaatan agamanya, bahagia dan ketenangan hati sudah pasti jadi jaminan.
Akhi, Ukhti.. jangan pernah puas hanya sampai disini ya, tetap selalu berusaha memperbaiki diri. :)